Saturday, November 19

Sistem Pemerintahan Indonesia; Demokrasi no, Oklorasi yes

Dapet inspirasi setelah  denger pernyataan temen pas pelajaran Pkn tadi siang. Tadi kelas kita lagi ngebahas tentang sistem-sistem pemerintahan menurut Plato, Aristoteles, dan Polybios.

"Ti, keknya Indonesia nganut Oklorasi, deh," kata temen. Saya ngangkat alis sebelah.
"Hah?" maklum, gak merhatiin guru. "Emang kenapa dengan Oklorasi?" saya membuka LKS yang lagi dibahas. Kelihatan di halaman 50 LKS PKn kelas 12 terbitan ekspresi, poin 2g.

Oklorasi, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh orang-orang yang tidak tahu sama sekali tentang soal-soal pemerintahan, sehingga rakyat hidup di luar batas-batas ketertiban sehingga timbullah anarki (Kansil, 1996:27).

Saya bengong bentar, setengah mengerjap-rejapkan mata biar gak ngantuk. Gila, nih guru bener-bener meninabobokan kita! Setengah mencoba menyerap apa yang terketik di LKS.

Ok. Oklorasi adalah pemerintahan yang dipegang oleh orang2 yang gak tahu sama sekali ttg soal2 pemerintahan. Indonesia sekalih itu mah!
Indonesia dipimpin oleh orang2 yang gak kompeten di bidangnya. Ulangi, GAK KOMPETEN DI BIDANGNYA. Banyak lah contoh-contoh yang bertebaran di sekitar kita.


Kita ambil contoh Mr. Hatta Rajasa (Sori, pak, bukan maksud menyudutkan, cuman sebagai contoh. OK, pak? Boleh ya? Ya? Bapak bisa hubungin saya lewat blog ini. Sorriiii banget pak). Barusan baca profil di Wikipedia, dia lulusan ITB Teknik Perminyakan. Beliau sempat menjabat jadi Menteri Riset dan Teknologi di kabinet Gotong Royong-nya Mrs. Megawati. Masih sangat nyambung dengan kuliahnya.
Sebelum2nya, beliau adalah politikus. No comment pas bagian ini.
Lalu, Sekjen PAN. Ini juga No comment.
Setelah dimisioner dari jabatan Menristek pas tahun 2004, beliau naik tahta lagi jadi Menteri Perhubungan, 2004-2007. Hmm... keknya masih nyambung. Tau dah.
LALU.... jadi Menteri Sekretaris Negara (?!) tahun 2007-2009.
Apa hubungannya Teknik Perminyakan dengan Juru Tulis? OK, lupakan itu. Aku bingung.
Setelahnya, tau dong, kalo dia adalah MenKo Ekonomi! How come?! Gimana bisa dari Teknik jadi Ekonomi? Kalo dia ngambil SBM ITB sih masih mending, tapi apakah tahun 70-an udah ada SBM?! Apa hubungannyaaaaaaaaaaaaaaaaaa........................... Perminyakan sama Ekonomi?
OK. Mungkin karena sumber komoditi kita dari BBM, jadi yang dari perminyakan ikut direkrut jadi Menteri Ekonomi? Dimungkinkan aja lah buat Indonesia mah!

Back to Oklorasi. Indonesia dipimpin oleh orang2 yang bahkan gak ngerti soal pemerintahan. Indonesia dimpin oleh orang2 yang bahkan gak ngerti gimana supaya narik perhatian rakyat, bukan dengan duit, tapi dengan kebijakan serta turun langsung ke rakyat TANPA DISHOOT, TERUS DIIKLANIN DI HAMPIR SETIAP JAM DI SETIAP ACARA TV. Indonesia dipimpin oleh orang2 yang bahkan gak tahu caranya supaya duit APBN gak terus digerus buat kepentingan pribadi DPR atau MPR atau bahkan Presiden atau Wapresiden atau para Menteri atau para dedengkotnya. Indonesia dipimpin oleh orang2 kolot dan gak tahu istilah 'demokrasi', bahkan males buat nyari arti katanya di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Indonesia dipimpin oleh orang2 yang gak tahu gimana caranya supaya para pemuda-pemudinya tergerak buat membantu dan mendukung mereka, tanpa duit. Indonesia dipimpin oleh orang2 yang cuman tahu shopping ke luar negeri bareng keluarga dengan modus studi banding sistem politik. Indonesia dipimpin oleh orang2 pintar yang bodoh, yang mau-maunya dijajah duit (meskipun saya juga suka duit). Indonesia dipimpin oleh orang2 yang gak percaya sama kemampuan penerusnya. Indonesia dipimpin oleh orang2 yang berusaha melenyapkan orang cerdas dan berpikiran lurus. Dan the last but not least, Indonesia dipimpin oleh orang2 yang membiarkan seorang siswa kelas 12 SMA yang bahkan belum nyampe 17 tahun nulis sok tahu di blog ini (ini line pribadi, gak usah dipikirin).

Intinya, kalo pas googling ato baca buku tentang sistem pemerintahan Indonesia, dan nemu kalo Sistem Pemerintahan Indonesia adalah Demokrasi Pancasila, itu salah besar! Mana demokrasinya?!
Mana PEMILU LUBER-nya?
Mana Aspirasi bebas yang di utarakan di UUD 1945?
Di Mana kepentingan Rakyat?
Di Mana Pemerintahan dipegang Rakyat?

Di hampir seluruh daerah Nusantara menderita kekurangan makan, dan Pemerintah dengan santainya menyelenggarakan SEA Games?!
Di daerah banjir Kalimantan dan Pemerintah tutup mulut?!
Atau sogokan pas pemilu?
Atau hilangnya manusia-manusia yang berusaha menegakkan HAM!?
Yang mana yang demokrasi?
Sebelah mana DPR bener-bener menyalurkan pendapat rakyat? Kapan?
Pas Rapat Paripurna dan beberapa ngorok di meja?

mungkin saya gak bisa memperbaiki nasib udah jadi bubur Indonesia. mungkin saya gak bisa menggerakkan hati para ibu-bapak yang pake safari tiap hari ke kantor di Senayan.
mungkin saya gak bisa ngasih bantuan buat temen-temen serta sodara-sodara saya yang kesusahan di luar rumah.
mungkin saya gak mampu jadi anggota DPR, atau Menteri, atau anggota MPR, ataupun Presiden dan Wapresiden.
mungkin saya cuman bisa melongo di depan TV Sharp 14 inch di rumah.
mungkin saya cuman bisa ngetik  gini di laptop.
tapi, kalo mungkin-mungkin itu bisa dibalikfaktakan, dan saya berhasil jadi -mungkin saya gak bisa-, mungkin keadaan akan berubah.

tapi lagi, itu baru akan terjadi setelah negara bernama Indonesia udah tenggelam beberapa abad setelah ini.

Thursday, October 20

Guru?

Aku berdiri bangga dengan label di lengan kanan kiriku. Aku sudah SMA. Aku sudah besar. Aku sudah dewasa.
Hari Senin. Tidak boleh terlambat. Bisa gawat nanti kalau aku sampai upacara di depan piket!
Angkot yang lewat selalu penuh. Ada angkot yang agak kosong, tapi melihat kerumunan anak-anak berseragam di sekitarku membuat para sopir phobia berhenti di depanku. Hpmh! Mana udah jam segini, keluhku dalam hati.
Akhirnya ada satu buah angkot yang berbaik hati mau mengangkut sekitar lima belasan anak ke sekolahnya masing-masing. Sayang, beberapa orang tak bisa ikut bersamaku. Ya, aku beruntung bisa naik angkot kosong ini. Kudoakan semoga kalian tidak telat, doaku.
Sesampainya di perempatan lain dekat sekolah, aku berhenti dan langsung naik becak. Becak itu menurunkan aku di depan gerbang sekolah. Aku heran, kenapa emang becak itu tahu aku sekolah disini? Apa karena label yang aku kenakan? Aku pun membayar dan lari menuju Pak Satpam dengan muka garangnya sedang menyebrangkan teman-temanku sambil mengomel, “Ayo! Ayo! Cepet masuk!”
Belum telat! Tepat saat aku masuk kelas, bel berbunyi nyaring. Kelasku sudah kosong. Hmm.. aku pasti yang paling telat lagi. Benar saja. Aku dapat barisan di belakang. Sambil terengah, aku sapa beberapa teman yang menoleh ke arahku.
“Ti, kamu udah ngapalin Jepang?” Kamil mencolekku.
“Hah? Emang ulangan?” tanyaku polos.
“Kamu lupa!? Yani-sensei kan udah bilang sejak dua minggu lalu!”
Aku menstabilkan nafas sebelum menyahut, “Oh. Wah? Ulangan yang mana?”
“Kata sambung Te! Masa lupa, sih?!”
“Kamu udah ngapalin?” aku balas bertanya. Malas aku diintimidasi dengan tatapan sadisnya.
“Udah lah!”
“Ti?” aku menoleh pada Resti. Oh, iya. Dia kan ikut JC, Japanese Club, jadi hal-hal kayak gini sih cetek buat dia.
“Dikit,” bisiknya. Pak Asep mulai berpatroli. Sial! Aku di belakang! Aku harus tahan posisi siap sedia selama dua puluh menit!

Aku merapal dan memperhatikan jelas-jelas huruf-huruf keriting pada buku di depanku. Sambil makan, aku membaca dalam hati materi yang akan diulangankan. Aku mengingat kata-kata Yani-sensei minggu kemarin.
‘U’ disini adalah bentuk kamus, makanya tidak ada kata kerjanya. Ibu lupa memberikan bentuk kamus pada kalian, tapi Ibu yakin kalian bisa menganalogikannya. Jika disini berakhiran ‘u’, kata kerjanya berakhiran ‘i’. Misalnya, U, Tsu, Ru menjadi I, Chi, Ri; Bu, Nu, Mu menjadi Bi, Ni, Mi dan seterusnya. Ingat, akhir yang dipakai adalah akhiran sebelum ‘masu’. Contoh perubahannya, ‘kikimasu’ menjadi ‘kiite’. ‘I’ menjadi ‘Ite’.
Aku mulai menulis sambil mengahafal bersama teman-temanku di koridor kelas sambil ditiupi angin pagi sepoi-sepoi.
“Ti, ajarin aku lah!”
Aku menoleh. Malin beringsut mendekatiku. Beringsut asli, mirip suster ngesot. Kami duduk di lantai, jadi sangat lazim dan masuk akal untuk melakukannya.
Ajarin? Aku bahkan baru membuka buku, batinku. Tapi, sekalian mengahafal juga. Aku menerima tawarannya. Aku mulai menjelaskan sebisaku sesuai secuil ilmu yang baru kucerna. Malin mengangguk-angguk. Sesekali dia menyela jika kurang paham atau minta penjelasan ulang. Beberapa saat kemudian, Dila mendatangiku sambil membawa buku catatan Jepangnya.
“Ti! Aku gak ngerti sama si Ibu mah! Ini, yang ini kok beda sama yang lain?”
Aku membacanya. ‘Kimasu’ dan ‘Mimasu’ menjadi ‘Kite’ dan ‘Mite. “Oh, itu pengecualian,” aku membuka bukuku lagi, takut-takut aku salah. Setelah aku yakin,
“Iya, jadi ada pengecualiannya. Pokoknya yang Cuma ada satu huruf di depan ‘masu’, berarti jadi ‘te’. Terus ada juga pengecualian yang lain,” aku membuka bukuku yang acak-acakan dan mulai memberi tahu hal yang ia tak tahu. Tak lama, beberapa teman juga mengerubungiku, persis saat aku mengerubungi teman yang jago Fisika untuk meminta penjelasan. Rata-rata dari mereka membawa problem yang sama seperti Dila. Aku menjelaskan, lagi, memberi tahu apa-apa yang kuberi tahu pada Dila. Aku tak pandai mengajar, jadi aku tak tahu apa penjelasan itu berguna dan bisa diterima mereka.
Bel masuk berdenging. Aku panik. Aku bahkan belum menyelesaikan makanan dan sisa hafalanku! Dengan lunglai aku masuk kelas dan megerjakan soal ulangan.
Hei! Ini tidak susah! Aku sudah menjelaskan ini pada yang lain barusan! Semangatku muncul dari atas; jangan tanya dari mana. Tanganku sampai pegal melayani perintah otak untuk mengerjakan dua puluh soal tanpa huruf latin itu. Selesai! Dengan senyum terkembang dan dada membusung, aku berdiri dari kursi chitose dan maju ke depan kelas untuk mengumpulkan jawaban.
Di luar sudah ada Resti dan Adil. Mereka berdua jago Jepang. Aku bergabung dengan mereka dan mulai diskusi tentang ulangan. Setelah aku, satu persatu teman muncul dari balik pintu kelas. Kebanyakan dari mereka bermuka pasrah dan lelah.

Minggu selanjutnya, Yani-sensei membagikan hasil ulangan. Aku dapat sembilan dua. Aku tersenyum penuh kebahagiaan. Faktor apa? Doa? Aku bahkan tidak berdoa karena lupa. Bakat? Tidak, jangan bicara soal ini. Belajar sungguh-sungguh? Aku cuma mengerjakan LKS Biologi dan Bahasa Inggris semalam.
Usaha? Aku tidak menghafal.
Tapi aku mengajar. Apa mengajar salah satu proses menghafal? Bisa saja. Mengajar juga usaha untuk membantu orang lain dan membantu kita mengaplikasikan mengembangkan ilmu yang kita dapat.
Jadi, usaha? Ya.

‘Dakwahkanlah walaupun seayat’, inti sebuah hadist  sayalupasiapayangngeriwayatin,
Kata mama, jangan pelit ilmu. Bagikanlah apapun yang kamu punya, dan itu akan menambah ilmu dan pengalamanmu. Siapapun dia, saat dia memintamu mengajarkan padanya, jangan ditolak. Tapi, jangan ajari kejahatan. Mengajari kejahatan malah akan membahayakanmu.
Jangan lihat siapa yang kamu ajari, tapi lihat apa yang kamu ajarkan

Kemerdekaan, dan Kemerdekaan

1 Ramadhan tahun ini  (kata para ahli hilal) bertepatan dengan 1 Agustus. Di bulan Agustus ini, semua orang yang ngaku WNI pasti tau ada apa di dalamnya. Of course, Agustusan. Alias HUT (istilahnya kayak apaaa gitu, HUT) Indonesia ke.... 2011-1945 = 66 tahun. Udah kakek-kakek berarti, ya, negara kita (tak) tercinta ini. Saya sebagai cucunya merasa (tak) bangga atas prestasi yang sudah ditorehkan oleh kakek saya ini.
Balik ke Agustus. Nah, konon kata sejarah, waktu itu, taun 1945, kan pas 17 Agustus-nya kita diwakili Ir. Soekarno dan Moh. Hatta memproklamirkan sebuah negara persatuan, Indonesia, yang entah sejak kapan namanya berubah jadi NKRI YTPB (Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang Tak Pernah Menyatu). 17 Agustus 1945 jadi tanggal bersejarah dan sakral buat para pemilik bendera merah-putih ini. Dan, 17 Agustus 1945 itu bertepatan dengan 17 Ramadhan 1366 Hijriah. Gak percaya? Saya juga gak tau pasti, orang saya belom lahir.
Yang pasti, 17 Agustus 1945 itu zamannya muslim-muslimah pada puasa. Bulan Ramadhan. The most powerful and favorite month in a year. The most unso-so month, and the most special month for everyone.
Oh, ya. saya mau nulis tentang kemerdekaan Indonesia. Inspirasinya dari tema OIS 2011, kalo gak salah ‘Solidaritas Para Pemuda Indonesia dalam Pembangunan’. Kalo gak salah, saya lupa-inget-inget.
Pembangunnan di Indonesia, menurut saya pribadi, apa ya, dibilang maju kagak, dibilang statis juga enggak. Pembangunan di negara ini terkesan terburu-buru. Mau yang bagus, tapi dananya dicubit sana-sini, dan waktu yang mepet. Misalnya aja, pembangunan jalur Monorail di Jakarta.

Jujur, pertama kali saya liat proyek gagal itu sekitar taun 2004-an. Waktu itu saya baru ke Jakarta lagi setelah sekian lama gak ke kota panas itu. Seingat saya, monorail itu masih ada yang megerjakan.
Kesini-sini, kok monorail itu gak ada? Maksud saya, saya ke Jakarta minimal setaun sekali, pastu ngelewatin jalur gagal itu. Jalur monorail itu erletak di atas jalan layang (bentar-bentar... di atas jalan layang? Bukan, bukan. Di atas terowongan! Ya! sebelahan sama jalan layang!) Outer Ring Road Jakarta. Seinget saya lagi, monorail itu sekarang sudah terbengkalai dihuni lumut-lumut. Di musim hujan, jalur (belum tepat dikasih nama jalur, tapi bak rendah yang lebar) itu terendam air. Saya khawatir semen beton yang menahan permukaannya lama-lama akan terkikis air, dan jatuh (jauh banget perkiraannya) menimpa terowongan.

Itu satu. Masih di Jakarta, sebagai daerah yang paling banyak disorot. Penambahan koridor busway. Sebenernya sih, sah-sah aja Pemda Jakarta mau berbuat apapun. Tapi, pikirin juga hal-hal yang gak terduga. Sepeti, pertambahan penduduk akibat urbanisasi yang kian taun kian meningkat. Apa hubungannya?

Ya jelas. Makin banyak penduduk – makin banyak penumpang busway karena murah dan ‘nyaman’ – makin sesek busway – makin rawan kecelakaan – makin celaka.

Yang saya denger, penambahan koridor itu gak sejalan dengan penambahan armada bus. Nah lo! Kalo gitu, kejadian yang saya khawatirkan bakal terjadi. Nanti pas giliran saya kuliah gimana, dong?
Beberapa contoh gak jelas yang bisa saya simpulkan. Pemerintah, niatnya baik, mau bantu rakyat. Harus, dong, kan emang itu tugasnya. Tapi, karena banyak faktor, niat baik itu sampai ke masyarakat sebagai kebijakan yang gak jelas se-gak jelas tulisan saya ini dan malah menimbulkan masalah baru buat masyarakat. Ada baiknya, kalo pemerintah mau bantu rakyat, menurut saya, rapat dulu deh sama rakyatnya. Jangan sama wakil rakyat yang kerjaannya molor di sidang. Molor, digaji pula. Digajinya itu pake duit rakyat.

Gimana, kek, caranya. Atau, kalo pemerintah gak mau rapat sama rakyatnya, pake poling aja. Jajak pendapat di internet, sms, apa kek, kan udah canggih. Gunain tuh, fasilitas-fasilitas lux yang kita beliin untuk melayani kita. Atau lagi, bantu aja secara individual. Jual tuh, mobil tugas yang harganya hampor semilyar, terus diutnya dipake buat ngebenerin sekolah-sekolah yang rusak, dan bikin sekolah-sekolah negeri di pedalaman. Indonesia luas banget, lho. Kalo mau maju, pemerintah, dalam konteks ini para wakil rakyat, seyogyanya mau membantu secara langsung para rakyat.
Gini aja, deh. kalo emang pemerintah gak sanggup ngelola Indonesia dari sabang sampe Merauke, mending Indonesia dipecah aja jadi beberapa bagian biar bisa diurus. Bukan provinsi, karena provinsi masih terikat sama pusat. Pecah, bener-bener dipecah kayak kerajaan-kerajaan gitu, tapi masih bertalian. Kalo gak mau gitu, uruslah daerah-daerah terpencil. Karena, disanalah tempat generas-generasi penerus saya yang Insya Allah bakal berguna kedepannya, lahir, besar, dan tinggal. Sebisa mungkin pemerintah ngambil hati masyarakat di pedalaman, supaya mereka simpati dan mau mengaku sebagai bagian dari Indonesia. Kita juga gak boleh apatis sama mereka. Sama-sama kerja sama sebagai WNI membangun bangsa.
Bukan cuman pemudanya aja. Kakek-nenek, ibu-ibu, bapak-bapak, juga bisa diperbudidayakan. Jangan cuman ngegosip di warung aja, atau ngerokok berjamaah di pos kamling, doronglah kami, para pemuda, supaya mau membangun Indonesia.

Takutnya, kalo kita apatis satu-sama lain, suatu hari di masa depan, manusia hanya bisa mengenang suatu negara bernama Indonesia. 

Tuesday, July 26

Bahasa buat anak kecil

"Anjing, urang embung jeung maneh!"
Saya miris banget mendengarnya. Anak sekecil itu udah ngomong kayak gitu, dan orang tuanya ketawa bahagia?
Gumam hati saya tadi pagi. rumah saya dan rumah keluarga itu cuma dibatasi seinci tirplek, jadi kami sama-sama bisa mendengar dengan jelas apa yang kami masing-masing katakan.

Saya heran pada anak-anak (baca: balita-balita) sekarang. Mau-maunya diajarin bahasa (baca:bahasa kasar) kayak gitu. dan sempet-sempetnya orang tua memperdendangkan bahasa-bahasa sangat tidak sopan itu di depan anak mereka. Balita 3 tahun, apapun yang ia dengar, lihat, rasakan, akan terpahat sempurna di sinanpsis otaknya

kebetulan keluarga sebelah rumah punya anak usia empat tahun. entah belajar dari mana, saya tahu dia masih TK, dan gak mungkin belajar di TK. Pasti dari orang tuanya, pikir saya. Yang saya denger, itu orang tua dia kalo lagi ngomong (baca : marah) pake basa Sunda kasar di depan anaknya. Anak, siapa sih yang bisa nyalahin? Dia mah ngedenger apapun dibeoin. Jangan sampe kebiasaan sampe gedenya. Kalo dari kecilnya dibiasain kayak gitu, pas udah gede sudah mendarah daging dan sangat sulit banget dihilangkan.

Buat para orang tua dan para calon orang tua, saya minta tolong. Tolong banget jangan jadikan generasi-generasi di bawah kami makin bobrok dari kami. Cukuplah sampai kami aja yang ancur. Jangan bawa adik-adik ke lubang yang sama. Masa depan ada di tangan anak-anak kalian. Plis, plis, Plis! Jaga kata-kata kalian di depan anak-anak.

Indonesia dan Agustus kali ini

1 Ramadhan tahun ini  (kata para ahli hilal) bertepatan dengan 1 Agustus. Di bulan Agustus ini, semua orang yang ngaku WNI pasti tau ada apa di dalamnya. Of course, Agustusan. Alias HUT (istilahnya kayak apaaa gitu, HUT) Indonesia ke.... 2011-1945 = 66 tahun. Udah kakek-kakek berarti, ya, negara kita (tak) tercinta ini. Saya sebagai cucunya merasa (tak) bangga atas prestasi yang sudah ditorehkan oleh kakek saya ini.
Balik ke Agustus. Nah, konon kata sejarah, waktu itu, taun 1945, kan pas 17 Agustus-nya kita diwakili Ir. Soekarno dan Moh. Hatta memproklamirkan sebuah negara persatuan, Indonesia, yang entah sejak kapan namanya berubah jadi NKRI YTPB (Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang Tak Pernah Menyatu). 17 Agustus 1945 jadi tanggal bersejarah dan sakral buat para pemilik bendera merah-putih ini. Dan, 17 Agustus 1945 itu bertepatan dengan 17 Ramadhan 1366 Hijriah. Gak percaya? Saya juga gak tau pasti, orang saya belom lahir.
Yang pasti, 17 Agustus 1945 itu zamannya muslim-muslimah pada puasa. Bulan Ramadhan. The most powerful and favorite month in a year. The most unso-so month, and the most special month for everyone.
Oh, ya. saya mau nulis tentang kemerdekaan Indonesia. Inspirasinya dari tema OIS 2011, kalo gak salah ‘Solidaritas Para Pemuda Indonesia dalam Pembangunan’. Kalo gak salah, saya lupa-inget-inget.
Pembangunnan di Indonesia, menurut saya pribadi, apa ya, dibilang maju kagak, dibilang statis juga enggak. Pembangunan di negara ini terkesan terburu-buru. Mau yang bagus, tapi dananya dicubit sana-sini, dan waktu yang mepet. Misalnya aja, pembangunan jalur Monorail di Jakarta.
Jujur, pertama kali saya liat proyek gagal itu sekitar taun 2004-an. Waktu itu saya baru ke Jakarta lagi setelah sekian lama gak ke kota panas itu. Seingat saya, monorail itu masih ada yang megerjakan.
Kesini-sini, kok monorail itu gak ada? Maksud saya, saya ke Jakarta minimal setaun sekali, pastu ngelewatin jalur gagal itu. Jalur monorail itu erletak di atas jalan layang (bentar-bentar... di atas jalan layang? Bukan, bukan. Di atas terowongan! Ya! sebelahan sama jalan layang!) Outer Ring Road Jakarta. Seinget saya lagi, monorail itu sekarang sudah terbengkalai dihuni lumut-lumut. Di musim hujan, jalur (belum tepat dikasih nama jalur, tapi bak rendah yang lebar) itu terendam air. Saya khawatir semen beton yang menahan permukaannya lama-lama akan terkikis air, dan jatuh (jauh banget perkiraannya) menimpa terowongan.
Itu satu. Masih di Jakarta, sebagai daerah yang paling banyak disorot. Penambahan koridor busway. Sebenernya sih, sah-sah aja Pemda Jakarta mau berbuat apapun. Tapi, pikirin juga hal-hal yang gak terduga. Sepeti, pertambahan penduduk akibat urbanisasi yang kian taun kian meningkat. Apa hubungannya?
Ya jelas. Makin banyak penduduk – makin banyak penumpang busway karena murah dan ‘nyaman’ – makin sesek busway – makin rawan kecelakaan – makin celaka.
Yang saya denger, penambahan koridor itu gak sejalan dengan penambahan armada bus. Nah lo! Kalo gitu, kejadian yang saya khawatirkan bakal terjadi. Nanti pas giliran saya kuliah gimana, dong?
Beberapa contoh gak jelas yang bisa saya simpulkan. Pemerintah, niatnya baik, mau bantu rakyat. Harus, dong, kan emang itu tugasnya. Tapi, karena banyak faktor, niat baik itu sampai ke masyarakat sebagai kebijakan yang gak jelas se-gak jelas tulisan saya ini dan malah menimbulkan masalah baru buat masyarakat. Ada baiknya, kalo pemerintah mau bantu rakyat, menurut saya, rapat dulu deh sama rakyatnya. Jangan sama wakil rakyat yang kerjaannya molor di sidang. Molor, digaji pula. Digajinya itu pake duit rakyat.
Gimana, kek, caranya. Atau, kalo pemerintah gak mau rapat sama rakyatnya, pake poling aja. Jajak pendapat di internet, sms, apa kek, kan udah canggih. Gunain tuh, fasilitas-fasilitas lux yang kita beliin untuk melayani kita. Atau lagi, bantu aja secara individual. Jual tuh, mobil tugas yang harganya hampor semilyar, terus diutnya dipake buat ngebenerin sekolah-sekolah yang rusak, dan bikin sekolah-sekolah negeri di pedalaman. Indonesia luas banget, lho. Kalo mau maju, pemerintah, dalam konteks ini para wakil rakyat, seyogyanya mau membantu secara langsung para rakyat.
Gini aja, deh. kalo emang pemerintah gak sanggup ngelola Indonesia dari sabang sampe Merauke, mending Indonesia dipecah aja jadi beberapa bagian biar bisa diurus. Bukan provinsi, karena provinsi masih terikat sama pusat. Pecah, bener-bener dipecah kayak kerajaan-kerajaan gitu, tapi masih bertalian. Kalo gak mau gitu, uruslah daerah-daerah terpencil. Karena, disanalah tempat generas-generasi penerus saya yang Insya Allah bakal berguna kedepannya, lahir, besar, dan tinggal. Sebisa mungkin pemerintah ngambil hati masyarakat di pedalaman, supaya mereka simpati dan mau mengaku sebagai bagian dari Indonesia. Kita juga gak boleh apatis sama mereka. Sama-sama kerja sama sebagai WNI membangun bangsa.
Bukan cuman pemudanya aja. Kakek-nenek, ibu-ibu, bapak-bapak, juga bisa diperbudidayakan. Jangan cuman ngegosip di warung aja, atau ngerokok berjamaah di pos kamling, doronglah kami, para pemuda, supaya mau membangun Indonesia.
Takutnya, kalo kita apatis satu-sama lain, suatu hari di masa depan, manusia bisa mengenang suatu negara bernama Indonesia.

Tuesday, June 7

Gehu Hot Jeletot

“Sialan! Kirain gak pedes! A*u!” umpatku dalam hati, takut kedengeran keluarga.
Gehu Hot Jeletot, atau dalam bahasa mamah, Gehu Pedes, lagi tren di Garut. Setahuku, sih, udah buka cabang di hampir semua alfamart di Tarogong yang gak keitung. Gehu Hot Jeletot enak, buat yang doyan pedes. Buat yang anti-capsiasin? Haram.
Keenakannya dan kelakuannya (kelakuan kelarisan, bukan kelakuan tingkah) mungkin sepadan dengan harganya, serebu limaratus rupiaa. Tiga kali lipat dari harga gehu pada umumnya di Indonesia. Emang sih, ukurannya jumbo, dan kriuk-kriuk yang ditambah sebagai pemanis juga enak. Penampilan gerobak dan penjualnya juga sedap dimata. Yah, Rp1500,- sepadan kalo dilihat dari sana.
Hal yang gak mengenakkan adalah, kelakuan (yang ini baru kelakuan tingkah) pedagang gorengan lain yang ngikut-ngikut menambahkan embel-embel ‘pedas’ pada nama gehu mereka. Sirik, kali, ye.
Kejadiannya barusan, pas aku dan mamah pulang dari ATM di Alfamart. Tak diduga, kami ngeliat tulisan ‘GEHU PEDAS’ di salah satu sudut gerobak gorengan di depan mata. Dan gerobak Gehu Hot Jeletot nangkring tak jauh dari sana. Aku pikir, apa Gehu Hot Jeletot gak ngambil royalti idenya? Ah, bodo amat dah!

Eh,si mamah pengen nyoba lagi, gehu pedas si emang-emang itu. kami pernah nyoba Gehu Hot Jeletot seribu lima ratus. Mamah lagi pengen gehu. Dan, dimulailah transaksi. Aku pikir lagi, gehu-nya bener-bener pedes?
“Mang, gehuna sabaraha?” tanya mamah.
“Lima ratus,” jawab pedagang.
“Oh, nya,” mamah berpaling padaku. “Neng, mau?”
“Gak, ah. Lada,” kataku sesopan mungkin, menarik mamah pulang. Tapi si mamah balik lagi.
“Nyoba ah, buat si bibi, bisi pengen!” mamah pun ngeorder (cieee, bahasanya) gehu dua ribu rupiah, lalu si emang pedagang ngambil kertas bungkus, memasukkan empat buah gehu ke dalamnya, dan memberinya kresek hitam. Si mamah menukar lembaran dua ribu dengan kresek itu, dan kami pun akhirnya pergi dari sana.
Aku tak banyak ngomong. Aku ngambil jinjingan minyak dua liter yang kami beli di Alfa dari tangan mamah. “Mah, naek angkot, yuk!”
“Ya udah. Emang gak mau meser gehu di sana?” telunjuk mamah mengarah pada gerobak di perempatan cipanas, langganan kami. Aku mengangkat bahu.
“Tapi kita jalan kalo beli gehu lagi.”
What? “Emang uangnya berapa? Gak usah deh, mah. Naek angkot ajah.”
“Tiga ribu. Kalo naek angkot kurang seribu. Gak ada recehan lagi. Masa mau pake lima puluhan?” ucapan mamah mengingatkanku pada lembaran-lembaran kertas biru dari ATM.
“Naek angkot ajah,” keukeuhku. Mamah mengalah. Saat kami melewati gerobak gorengan langganan, tiba-tiba mamah menarik tanganku.
“Jalan aja, ya!” dan membeli (lagi) empat gehu seharga dua ribu. Aku menghela nafas. Yah, gak papa, deh. Kan gak pedes.
Kami ngobrol ngaler-ngidul sepanjang 3 kilo. Tapi mostly kami ngomongin addict keluarga kami sama kerupuk. No kerupuk, no food. Bahasa inggris kerupuk apa, sih?
Dan, nyampelah kita ke rumah, yang lagi direnovasi. Yang udah beres Cuma warung. Kami berdua masuk, disambut Emang dan Bibi. Mamah membuka dua bungkusan gehunya, dan memamerkannya pada adik-adiknya.
“Nih, gehu Jeletot!”
“Hah?” bibi yang lagi ngelayanin gak denger.
“Apaan? Gehu jeletot?” emang mencomot satu buah gehu dari salah satu bungkusan. Aku mengambil satu sebelumnya, dan membawa ke ruang tengah. Di tengah-tengah ggitan, kurasakan sesuatu yang gak beres. Gehu ini pedes. Bukan pedes merica, tapi pedes pedes. Kulihat isinya, dan tampaklah sesuatu merah mencuat diantara tahu.

“Maaah! Salah ambil!”
Aku kembali ke warung dan mengambil satu lagi gehu dari bungkusan lain, yang kuyakin gak pedes. Setelah kubelah, benda-benda merah juga ada di gehu baru. Aku menciumnya. Bau cabe. Jalan malam 3 kilo dan ini yang kudapat?
Dua-duanya pedes. Aku belom menghabiskan gehu pertama, dan gehu kedua aku ambil bagian gak pedesnya, sambil mengumpat keras.
“Gara-gara Gehu Jeletot, semua pada ngikutin!”
Emang, bibi, dan mamah tertawa gak peduli, menikmati enaknya hidangan malam itu.

Thursday, March 24

Empat Tipe Kepribadian Manusia

Hahh.... sudah lama tak nulis ni. Kangen rasanya.....
Saya sudah kelas dua SMA! Tapi masih 16 taon di semester kedua. Hadoh! Masih lama banget buat punya KTP!

Kali ini, saya mau bercuap-cuap tentang Sifat-sifat manusia. Menurut Dunia Psikologi, sifat Manusia terbagi atas 4 sifat dasar; Sanguinis, Koleris, Melankolis, dan Pleghmatis. Umumnya dan katanya, tiap orang punya satu dari empat sifat dasar diatas. Tapi, survey membuktikan, gak semua manusia juga pas punya satu. Ada, bahkan banyak manusia yang punya sifat kombinasi dari difat-sifat diatas, meskipun ada satu yang mendominasi. Hayu, lah, Mari Kemon kita bahas keempat-empatnya.

Secara garis besar, dan menurut saya, Sanguinis adalah sifat orang populer, Koleris adalah pemimpin yang keras kepala, Melankolis selalu perfect always, dan Pleghmatis sang Cinta Damau. Begetoooo.....

BTW, saya masuk ke kelas Pleghmatis, Cinta Damai gitu! Tapi, beberapa sifat Melankolis juga ada pada diri saya. Kan udah saya bilang, banyak orang yang punya kombinasi sifat-sifat teesbe.

Langsung saja, ya.....

Orang-orang SANGUINIS, biasanya punya :
Kebagusan :

* Doyan ngomong
* Secara fisik memegang pendengar, emosional dan demonstratif
* Antusias dan ekspresif  (bsemangat dan ceplas-ceplos)
* Ceria dan penuh rasa ingin tahu
* Hidup di masa sekarang (modern? dunno)
* Mudah berubah (banyak kegiatan / keinginan) (ragu-ragu)
* Berhati tulus dan kekanak-kanakan
* Senang kumpul dan berkumpul (untuk bertemu dan bicara) (hobi nongkrong)
* Umumnya hebat di permukaan (apa, ya? Bisa diandalkan jadi pemimpin mungkin)
* Mudah berteman dan menyukai orang lain (umumnya bisa bergaul sama siapa aja dimana aja)
* Senang dengan pujian dan ingin menjadi perhatian
* Menyenangkan dan dicemburui orang lain (semua orang mau jadi dia, kiasan)
* Mudah memaafkan (dan tidak menyimpan dendam) (gak selamanya orang sanguinis pemaaf yg gampang)
* Mengambil inisiatif/ menghindar dari hal-hal atau keadaan yang membosankan (pencetus)
* Menyukai hal-hal yang spontan

KELEMAHAN:
* Suara dan tertawa yang keras (terlalu keras) (yang tanpa sadar menyinggung orang lain)
* Membesar-besarkan suatu hal / kejadian (lebai yang berlebihan)
* Susah untuk diam (tahu lah gimana)
* Mudah ikut-ikutan atau dikendalikan oleh keadaan atau orang lain (suka ngumpul dan mbentuk geng, geng-nya biasanya kumpulan sanguinis semua, meski kadang-kadang ada plegmatis yg ikut2an)
* Sering minta persetujuan, termasuk hal-hal yang sepele
* RKP! (Rentang Konsentrasi Pendek) (perhatian mudah teralihkan, tapi gak semua sanguinis kayak gitu sih)
* Talk More Do Less, lebih banyak ngobrolnya daripada kerjanya.
* Mudah berubah-ubah (ragu-ragu)
* Susah datang tepat waktu jam kantor (selalu ngaret)
* Prioritas kegiatan kacau (no dicipline, gak ada kata disiplin di kamusnya)
* Mendominasi percakapan, suka menyela dan susah mendengarkan dengan tuntas (pengennya dia terus yang ngomong, tanpa peduliin orang lain)
* Sering mengambil permasalahan orang lain, menjadi seolah-olah masalahnya (sok ikut campur)
* Egoistis
* Sering berdalih dan mengulangi cerita-cerita yg sama (suka nostalgia yg gak penting, alias nostalgila)
* Konsentrasi ke "How to spend money" daripada "How to earn/save money". (gak hemat banget)