Thursday, October 20

Guru?

Aku berdiri bangga dengan label di lengan kanan kiriku. Aku sudah SMA. Aku sudah besar. Aku sudah dewasa.
Hari Senin. Tidak boleh terlambat. Bisa gawat nanti kalau aku sampai upacara di depan piket!
Angkot yang lewat selalu penuh. Ada angkot yang agak kosong, tapi melihat kerumunan anak-anak berseragam di sekitarku membuat para sopir phobia berhenti di depanku. Hpmh! Mana udah jam segini, keluhku dalam hati.
Akhirnya ada satu buah angkot yang berbaik hati mau mengangkut sekitar lima belasan anak ke sekolahnya masing-masing. Sayang, beberapa orang tak bisa ikut bersamaku. Ya, aku beruntung bisa naik angkot kosong ini. Kudoakan semoga kalian tidak telat, doaku.
Sesampainya di perempatan lain dekat sekolah, aku berhenti dan langsung naik becak. Becak itu menurunkan aku di depan gerbang sekolah. Aku heran, kenapa emang becak itu tahu aku sekolah disini? Apa karena label yang aku kenakan? Aku pun membayar dan lari menuju Pak Satpam dengan muka garangnya sedang menyebrangkan teman-temanku sambil mengomel, “Ayo! Ayo! Cepet masuk!”
Belum telat! Tepat saat aku masuk kelas, bel berbunyi nyaring. Kelasku sudah kosong. Hmm.. aku pasti yang paling telat lagi. Benar saja. Aku dapat barisan di belakang. Sambil terengah, aku sapa beberapa teman yang menoleh ke arahku.
“Ti, kamu udah ngapalin Jepang?” Kamil mencolekku.
“Hah? Emang ulangan?” tanyaku polos.
“Kamu lupa!? Yani-sensei kan udah bilang sejak dua minggu lalu!”
Aku menstabilkan nafas sebelum menyahut, “Oh. Wah? Ulangan yang mana?”
“Kata sambung Te! Masa lupa, sih?!”
“Kamu udah ngapalin?” aku balas bertanya. Malas aku diintimidasi dengan tatapan sadisnya.
“Udah lah!”
“Ti?” aku menoleh pada Resti. Oh, iya. Dia kan ikut JC, Japanese Club, jadi hal-hal kayak gini sih cetek buat dia.
“Dikit,” bisiknya. Pak Asep mulai berpatroli. Sial! Aku di belakang! Aku harus tahan posisi siap sedia selama dua puluh menit!

Aku merapal dan memperhatikan jelas-jelas huruf-huruf keriting pada buku di depanku. Sambil makan, aku membaca dalam hati materi yang akan diulangankan. Aku mengingat kata-kata Yani-sensei minggu kemarin.
‘U’ disini adalah bentuk kamus, makanya tidak ada kata kerjanya. Ibu lupa memberikan bentuk kamus pada kalian, tapi Ibu yakin kalian bisa menganalogikannya. Jika disini berakhiran ‘u’, kata kerjanya berakhiran ‘i’. Misalnya, U, Tsu, Ru menjadi I, Chi, Ri; Bu, Nu, Mu menjadi Bi, Ni, Mi dan seterusnya. Ingat, akhir yang dipakai adalah akhiran sebelum ‘masu’. Contoh perubahannya, ‘kikimasu’ menjadi ‘kiite’. ‘I’ menjadi ‘Ite’.
Aku mulai menulis sambil mengahafal bersama teman-temanku di koridor kelas sambil ditiupi angin pagi sepoi-sepoi.
“Ti, ajarin aku lah!”
Aku menoleh. Malin beringsut mendekatiku. Beringsut asli, mirip suster ngesot. Kami duduk di lantai, jadi sangat lazim dan masuk akal untuk melakukannya.
Ajarin? Aku bahkan baru membuka buku, batinku. Tapi, sekalian mengahafal juga. Aku menerima tawarannya. Aku mulai menjelaskan sebisaku sesuai secuil ilmu yang baru kucerna. Malin mengangguk-angguk. Sesekali dia menyela jika kurang paham atau minta penjelasan ulang. Beberapa saat kemudian, Dila mendatangiku sambil membawa buku catatan Jepangnya.
“Ti! Aku gak ngerti sama si Ibu mah! Ini, yang ini kok beda sama yang lain?”
Aku membacanya. ‘Kimasu’ dan ‘Mimasu’ menjadi ‘Kite’ dan ‘Mite. “Oh, itu pengecualian,” aku membuka bukuku lagi, takut-takut aku salah. Setelah aku yakin,
“Iya, jadi ada pengecualiannya. Pokoknya yang Cuma ada satu huruf di depan ‘masu’, berarti jadi ‘te’. Terus ada juga pengecualian yang lain,” aku membuka bukuku yang acak-acakan dan mulai memberi tahu hal yang ia tak tahu. Tak lama, beberapa teman juga mengerubungiku, persis saat aku mengerubungi teman yang jago Fisika untuk meminta penjelasan. Rata-rata dari mereka membawa problem yang sama seperti Dila. Aku menjelaskan, lagi, memberi tahu apa-apa yang kuberi tahu pada Dila. Aku tak pandai mengajar, jadi aku tak tahu apa penjelasan itu berguna dan bisa diterima mereka.
Bel masuk berdenging. Aku panik. Aku bahkan belum menyelesaikan makanan dan sisa hafalanku! Dengan lunglai aku masuk kelas dan megerjakan soal ulangan.
Hei! Ini tidak susah! Aku sudah menjelaskan ini pada yang lain barusan! Semangatku muncul dari atas; jangan tanya dari mana. Tanganku sampai pegal melayani perintah otak untuk mengerjakan dua puluh soal tanpa huruf latin itu. Selesai! Dengan senyum terkembang dan dada membusung, aku berdiri dari kursi chitose dan maju ke depan kelas untuk mengumpulkan jawaban.
Di luar sudah ada Resti dan Adil. Mereka berdua jago Jepang. Aku bergabung dengan mereka dan mulai diskusi tentang ulangan. Setelah aku, satu persatu teman muncul dari balik pintu kelas. Kebanyakan dari mereka bermuka pasrah dan lelah.

Minggu selanjutnya, Yani-sensei membagikan hasil ulangan. Aku dapat sembilan dua. Aku tersenyum penuh kebahagiaan. Faktor apa? Doa? Aku bahkan tidak berdoa karena lupa. Bakat? Tidak, jangan bicara soal ini. Belajar sungguh-sungguh? Aku cuma mengerjakan LKS Biologi dan Bahasa Inggris semalam.
Usaha? Aku tidak menghafal.
Tapi aku mengajar. Apa mengajar salah satu proses menghafal? Bisa saja. Mengajar juga usaha untuk membantu orang lain dan membantu kita mengaplikasikan mengembangkan ilmu yang kita dapat.
Jadi, usaha? Ya.

‘Dakwahkanlah walaupun seayat’, inti sebuah hadist  sayalupasiapayangngeriwayatin,
Kata mama, jangan pelit ilmu. Bagikanlah apapun yang kamu punya, dan itu akan menambah ilmu dan pengalamanmu. Siapapun dia, saat dia memintamu mengajarkan padanya, jangan ditolak. Tapi, jangan ajari kejahatan. Mengajari kejahatan malah akan membahayakanmu.
Jangan lihat siapa yang kamu ajari, tapi lihat apa yang kamu ajarkan

Kemerdekaan, dan Kemerdekaan

1 Ramadhan tahun ini  (kata para ahli hilal) bertepatan dengan 1 Agustus. Di bulan Agustus ini, semua orang yang ngaku WNI pasti tau ada apa di dalamnya. Of course, Agustusan. Alias HUT (istilahnya kayak apaaa gitu, HUT) Indonesia ke.... 2011-1945 = 66 tahun. Udah kakek-kakek berarti, ya, negara kita (tak) tercinta ini. Saya sebagai cucunya merasa (tak) bangga atas prestasi yang sudah ditorehkan oleh kakek saya ini.
Balik ke Agustus. Nah, konon kata sejarah, waktu itu, taun 1945, kan pas 17 Agustus-nya kita diwakili Ir. Soekarno dan Moh. Hatta memproklamirkan sebuah negara persatuan, Indonesia, yang entah sejak kapan namanya berubah jadi NKRI YTPB (Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang Tak Pernah Menyatu). 17 Agustus 1945 jadi tanggal bersejarah dan sakral buat para pemilik bendera merah-putih ini. Dan, 17 Agustus 1945 itu bertepatan dengan 17 Ramadhan 1366 Hijriah. Gak percaya? Saya juga gak tau pasti, orang saya belom lahir.
Yang pasti, 17 Agustus 1945 itu zamannya muslim-muslimah pada puasa. Bulan Ramadhan. The most powerful and favorite month in a year. The most unso-so month, and the most special month for everyone.
Oh, ya. saya mau nulis tentang kemerdekaan Indonesia. Inspirasinya dari tema OIS 2011, kalo gak salah ‘Solidaritas Para Pemuda Indonesia dalam Pembangunan’. Kalo gak salah, saya lupa-inget-inget.
Pembangunnan di Indonesia, menurut saya pribadi, apa ya, dibilang maju kagak, dibilang statis juga enggak. Pembangunan di negara ini terkesan terburu-buru. Mau yang bagus, tapi dananya dicubit sana-sini, dan waktu yang mepet. Misalnya aja, pembangunan jalur Monorail di Jakarta.

Jujur, pertama kali saya liat proyek gagal itu sekitar taun 2004-an. Waktu itu saya baru ke Jakarta lagi setelah sekian lama gak ke kota panas itu. Seingat saya, monorail itu masih ada yang megerjakan.
Kesini-sini, kok monorail itu gak ada? Maksud saya, saya ke Jakarta minimal setaun sekali, pastu ngelewatin jalur gagal itu. Jalur monorail itu erletak di atas jalan layang (bentar-bentar... di atas jalan layang? Bukan, bukan. Di atas terowongan! Ya! sebelahan sama jalan layang!) Outer Ring Road Jakarta. Seinget saya lagi, monorail itu sekarang sudah terbengkalai dihuni lumut-lumut. Di musim hujan, jalur (belum tepat dikasih nama jalur, tapi bak rendah yang lebar) itu terendam air. Saya khawatir semen beton yang menahan permukaannya lama-lama akan terkikis air, dan jatuh (jauh banget perkiraannya) menimpa terowongan.

Itu satu. Masih di Jakarta, sebagai daerah yang paling banyak disorot. Penambahan koridor busway. Sebenernya sih, sah-sah aja Pemda Jakarta mau berbuat apapun. Tapi, pikirin juga hal-hal yang gak terduga. Sepeti, pertambahan penduduk akibat urbanisasi yang kian taun kian meningkat. Apa hubungannya?

Ya jelas. Makin banyak penduduk – makin banyak penumpang busway karena murah dan ‘nyaman’ – makin sesek busway – makin rawan kecelakaan – makin celaka.

Yang saya denger, penambahan koridor itu gak sejalan dengan penambahan armada bus. Nah lo! Kalo gitu, kejadian yang saya khawatirkan bakal terjadi. Nanti pas giliran saya kuliah gimana, dong?
Beberapa contoh gak jelas yang bisa saya simpulkan. Pemerintah, niatnya baik, mau bantu rakyat. Harus, dong, kan emang itu tugasnya. Tapi, karena banyak faktor, niat baik itu sampai ke masyarakat sebagai kebijakan yang gak jelas se-gak jelas tulisan saya ini dan malah menimbulkan masalah baru buat masyarakat. Ada baiknya, kalo pemerintah mau bantu rakyat, menurut saya, rapat dulu deh sama rakyatnya. Jangan sama wakil rakyat yang kerjaannya molor di sidang. Molor, digaji pula. Digajinya itu pake duit rakyat.

Gimana, kek, caranya. Atau, kalo pemerintah gak mau rapat sama rakyatnya, pake poling aja. Jajak pendapat di internet, sms, apa kek, kan udah canggih. Gunain tuh, fasilitas-fasilitas lux yang kita beliin untuk melayani kita. Atau lagi, bantu aja secara individual. Jual tuh, mobil tugas yang harganya hampor semilyar, terus diutnya dipake buat ngebenerin sekolah-sekolah yang rusak, dan bikin sekolah-sekolah negeri di pedalaman. Indonesia luas banget, lho. Kalo mau maju, pemerintah, dalam konteks ini para wakil rakyat, seyogyanya mau membantu secara langsung para rakyat.
Gini aja, deh. kalo emang pemerintah gak sanggup ngelola Indonesia dari sabang sampe Merauke, mending Indonesia dipecah aja jadi beberapa bagian biar bisa diurus. Bukan provinsi, karena provinsi masih terikat sama pusat. Pecah, bener-bener dipecah kayak kerajaan-kerajaan gitu, tapi masih bertalian. Kalo gak mau gitu, uruslah daerah-daerah terpencil. Karena, disanalah tempat generas-generasi penerus saya yang Insya Allah bakal berguna kedepannya, lahir, besar, dan tinggal. Sebisa mungkin pemerintah ngambil hati masyarakat di pedalaman, supaya mereka simpati dan mau mengaku sebagai bagian dari Indonesia. Kita juga gak boleh apatis sama mereka. Sama-sama kerja sama sebagai WNI membangun bangsa.
Bukan cuman pemudanya aja. Kakek-nenek, ibu-ibu, bapak-bapak, juga bisa diperbudidayakan. Jangan cuman ngegosip di warung aja, atau ngerokok berjamaah di pos kamling, doronglah kami, para pemuda, supaya mau membangun Indonesia.

Takutnya, kalo kita apatis satu-sama lain, suatu hari di masa depan, manusia hanya bisa mengenang suatu negara bernama Indonesia.