Aku berdiri bangga dengan label di lengan kanan kiriku. Aku sudah SMA. Aku sudah besar. Aku sudah dewasa.
Hari Senin. Tidak boleh terlambat. Bisa gawat nanti kalau aku sampai upacara di depan piket!
Angkot yang lewat selalu penuh. Ada angkot yang agak kosong, tapi melihat kerumunan anak-anak berseragam di sekitarku membuat para sopir phobia berhenti di depanku. Hpmh! Mana udah jam segini, keluhku dalam hati.
Akhirnya ada satu buah angkot yang berbaik hati mau mengangkut sekitar lima belasan anak ke sekolahnya masing-masing. Sayang, beberapa orang tak bisa ikut bersamaku. Ya, aku beruntung bisa naik angkot kosong ini. Kudoakan semoga kalian tidak telat, doaku.
Sesampainya di perempatan lain dekat sekolah, aku berhenti dan langsung naik becak. Becak itu menurunkan aku di depan gerbang sekolah. Aku heran, kenapa emang becak itu tahu aku sekolah disini? Apa karena label yang aku kenakan? Aku pun membayar dan lari menuju Pak Satpam dengan muka garangnya sedang menyebrangkan teman-temanku sambil mengomel, “Ayo! Ayo! Cepet masuk!”
Belum telat! Tepat saat aku masuk kelas, bel berbunyi nyaring. Kelasku sudah kosong. Hmm.. aku pasti yang paling telat lagi. Benar saja. Aku dapat barisan di belakang. Sambil terengah, aku sapa beberapa teman yang menoleh ke arahku.
“Ti, kamu udah ngapalin Jepang?” Kamil mencolekku.
“Hah? Emang ulangan?” tanyaku polos.
“Kamu lupa!? Yani-sensei kan udah bilang sejak dua minggu lalu!”
Aku menstabilkan nafas sebelum menyahut, “Oh. Wah? Ulangan yang mana?”
“Kata sambung Te! Masa lupa, sih?!”
“Kamu udah ngapalin?” aku balas bertanya. Malas aku diintimidasi dengan tatapan sadisnya.
“Udah lah!”
“Ti?” aku menoleh pada Resti. Oh, iya. Dia kan ikut JC, Japanese Club, jadi hal-hal kayak gini sih cetek buat dia.
“Dikit,” bisiknya. Pak Asep mulai berpatroli. Sial! Aku di belakang! Aku harus tahan posisi siap sedia selama dua puluh menit!
Aku merapal dan memperhatikan jelas-jelas huruf-huruf keriting pada buku di depanku. Sambil makan, aku membaca dalam hati materi yang akan diulangankan. Aku mengingat kata-kata Yani-sensei minggu kemarin.
‘U’ disini adalah bentuk kamus, makanya tidak ada kata kerjanya. Ibu lupa memberikan bentuk kamus pada kalian, tapi Ibu yakin kalian bisa menganalogikannya. Jika disini berakhiran ‘u’, kata kerjanya berakhiran ‘i’. Misalnya, U, Tsu, Ru menjadi I, Chi, Ri; Bu, Nu, Mu menjadi Bi, Ni, Mi dan seterusnya. Ingat, akhir yang dipakai adalah akhiran sebelum ‘masu’. Contoh perubahannya, ‘kikimasu’ menjadi ‘kiite’. ‘I’ menjadi ‘Ite’.
Aku mulai menulis sambil mengahafal bersama teman-temanku di koridor kelas sambil ditiupi angin pagi sepoi-sepoi.
“Ti, ajarin aku lah!”
Aku menoleh. Malin beringsut mendekatiku. Beringsut asli, mirip suster ngesot. Kami duduk di lantai, jadi sangat lazim dan masuk akal untuk melakukannya.
Ajarin? Aku bahkan baru membuka buku, batinku. Tapi, sekalian mengahafal juga. Aku menerima tawarannya. Aku mulai menjelaskan sebisaku sesuai secuil ilmu yang baru kucerna. Malin mengangguk-angguk. Sesekali dia menyela jika kurang paham atau minta penjelasan ulang. Beberapa saat kemudian, Dila mendatangiku sambil membawa buku catatan Jepangnya.
“Ti! Aku gak ngerti sama si Ibu mah! Ini, yang ini kok beda sama yang lain?”
Aku membacanya. ‘Kimasu’ dan ‘Mimasu’ menjadi ‘Kite’ dan ‘Mite. “Oh, itu pengecualian,” aku membuka bukuku lagi, takut-takut aku salah. Setelah aku yakin,
“Iya, jadi ada pengecualiannya. Pokoknya yang Cuma ada satu huruf di depan ‘masu’, berarti jadi ‘te’. Terus ada juga pengecualian yang lain,” aku membuka bukuku yang acak-acakan dan mulai memberi tahu hal yang ia tak tahu. Tak lama, beberapa teman juga mengerubungiku, persis saat aku mengerubungi teman yang jago Fisika untuk meminta penjelasan. Rata-rata dari mereka membawa problem yang sama seperti Dila. Aku menjelaskan, lagi, memberi tahu apa-apa yang kuberi tahu pada Dila. Aku tak pandai mengajar, jadi aku tak tahu apa penjelasan itu berguna dan bisa diterima mereka.
Bel masuk berdenging. Aku panik. Aku bahkan belum menyelesaikan makanan dan sisa hafalanku! Dengan lunglai aku masuk kelas dan megerjakan soal ulangan.
Hei! Ini tidak susah! Aku sudah menjelaskan ini pada yang lain barusan! Semangatku muncul dari atas; jangan tanya dari mana. Tanganku sampai pegal melayani perintah otak untuk mengerjakan dua puluh soal tanpa huruf latin itu. Selesai! Dengan senyum terkembang dan dada membusung, aku berdiri dari kursi chitose dan maju ke depan kelas untuk mengumpulkan jawaban.
Di luar sudah ada Resti dan Adil. Mereka berdua jago Jepang. Aku bergabung dengan mereka dan mulai diskusi tentang ulangan. Setelah aku, satu persatu teman muncul dari balik pintu kelas. Kebanyakan dari mereka bermuka pasrah dan lelah.
Minggu selanjutnya, Yani-sensei membagikan hasil ulangan. Aku dapat sembilan dua. Aku tersenyum penuh kebahagiaan. Faktor apa? Doa? Aku bahkan tidak berdoa karena lupa. Bakat? Tidak, jangan bicara soal ini. Belajar sungguh-sungguh? Aku cuma mengerjakan LKS Biologi dan Bahasa Inggris semalam.
Usaha? Aku tidak menghafal.
Tapi aku mengajar. Apa mengajar salah satu proses menghafal? Bisa saja. Mengajar juga usaha untuk membantu orang lain dan membantu kita mengaplikasikan mengembangkan ilmu yang kita dapat.
Jadi, usaha? Ya.
‘Dakwahkanlah walaupun seayat’, inti sebuah hadist sayalupasiapayangngeriwayatin,
Kata mama, jangan pelit ilmu. Bagikanlah apapun yang kamu punya, dan itu akan menambah ilmu dan pengalamanmu. Siapapun dia, saat dia memintamu mengajarkan padanya, jangan ditolak. Tapi, jangan ajari kejahatan. Mengajari kejahatan malah akan membahayakanmu.
Jangan lihat siapa yang kamu ajari, tapi lihat apa yang kamu ajarkan